BERITA ONLINE PEMICU KONFLIK

Media onlineadalah media yang tersaji secara online di internet, banyak penggunanya yang bisa dengan mudah berbagi, berpartisipasi maupun menciptakan peluang melalui: jejaring sosial, blogger, twitter, forum internet dan jejaring lainnya. Aplikasi-aplikasi ini merupakan media sosial yang sering digunakan masyarakat di seluruh dunia, apalagi Indonesia menempati peringkat ke-4 pengguna Facebook setelah USA, Brazil dan India dan pengguna Twitter terbesar peringkat ke-5 setelah USA, Brazil, Jepang dan Inggris.(Kominfo, IKP).

Dalam kamus besar Indonesia (KBBI 2010) disebutkan media adalah alat atau sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster dan spanduk. Maka dari itu media online membantu setiap individu dan masyarakat mempunyai keleluasan dalam memdapatkan informasi juga menyampaikan informasi tanpa ada batasan waktu, oleh karenanya perlu ada penyaringan informasi.

Pemberitaan dalam media online sangat gencar-gencarnya memberitakan konflik dan kasus-kasus yang mempengaruhi masyarakat dan pengguna media. Dalammembangun masyarakat perlu adanya pemberitaan yang tidak ada unsur propaganda sehingga presepsi tidak berbeda dan meninbulkan konflik yang berkepanjangan.
Suatu media massa menjadi peran utama dalam membangun situasimasyarakat maupun negara,media online mempunyai krateristik meliputi : kapasitas luas, halaman web bisa menampung naskah sangat panjang, jadwal terbit bisa kapan saja, setiap saat dan update, aktual terjangkau seluruh dunia (Wikipidia, ensiklopedia bebas).

Sedangkan media berfungsi mencegah dan meredakan konflik yang telah berlangsung di masyarakat supaya akibat yang di hasilkan tidak terjadi melalui pemberitaan yang objektif, akurat dan bertanggungjawab. Tapi untuk saat ini khususya media online wartawan maupun institusi media itu sendiri menjadikan media sebagai alat untuk melakukan propaganda dan memprovokasi isu yang sudah terjadi, dengan demikian konflik akan semakin runyam dan semakin membesar seperti kasus dugaan penodaan agama yang di lakukan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnomo alias Ahok (Tempo.com). Kejadian di bulan maret sangat gencar di beritakan di media massa tentang sopir angkot dan pengemudi ojek “Online” bentrok di Tangerang (megapolitan.kompas.com)

Akibatnya seluruh umat islam berbondong-bondong ke Jakarta untuk membela Islam, konflik yang kecil menjadi besar yang mengarah pada perpecahan agama yang sudah nyata terjalin baik dan juga masyarakat yang bekerja di ojek online takut untuk bekerja lagi, ini akan merugikan beberapa pihak.Media massa mengambil kesempatan untuk mempromosikan medianya supaya laku di pasaran dan banyak pembaca.

Pada Era Reformasi, konflik menjadi lebih tajam dan tampak semakin dramatis diberitakan melalui liputan pers. Konflik penistaan agama yang di lakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada acara peresmian panen pertama budidaya Kerapu di Kantor Dinas Kelautan Dan Pertanian Kebupaten Kepulauan seribu, pemberitaan ini sangat banyak di media online dengan berbagai macam pandangan media.Dibandingkan dengan topik-topik lain para wartawan menganggap konflik, sebagai hal yang memenuhi banyak kriteria jurnalistik untuk membuat peristiwa menjadi berita. Indonesia kita ketahui bersama menganut sistem demokrasi yang membebaskan rakyatnya bersuara dan berpendapat.Gelombang kebebasan pers tercipta besar-besaran, bukan dengan perlahan proses semestinya.

Pers saat ini selalu dihubungkan dengan demokrasi.Demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.Wartawan itu sendiri tidak bisa memberitakan sesuai fakta yang ada di lapangan dikarenakan pemilik perusahanan media yang menentukan apa yang patut di berikan kepada publik.

Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis berdasarkan fakta sesungguhnya. Tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang sehingga mendistorsi  fakta tersebut. Namun dalam realita media sebagai ruang publik kerap tidak bisa memerankan diri sebagai pihak yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun ideologis, media massa selalu terlibat dalam penyajian realitas yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Keterbatasan ruang dan waktu juga turut men-dukung kebiasaan media untuk meringkaskan realitas berdasarkan “nilai berita”. Prinsip berita yang berorientasi pada hal-hal yang menyimpang menyebabkan liputan peristiwa jarang bersifat utuh, melainkan hanya mencakup hal-hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan. Berita juga sering dibuat berdasarkan semangat “laku-tidaknya berita itu dijual” (Trijono dalam A. 2002).

Dalam keterkaitan teori komunikasi, ada satu teori yang bisa menjelaskan yaituteori Agenda Setting yang diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972).  Penekanan dalam teori ini adalah media memberi tekanan pada sesuatu peristiwa, media massa tersebut akan memperngaruhi khalayak secara fundamental apa yang di anggap penting dalam suatu media  jadi masyarakat berasumsi bahwa efek yang media massa mempengaruhi proses pembelajaran dan sikap.


Setiap media massa sebelum menaikkan berita pasti melalui beberapa tahap yang perlu dilalui hingga terbit di medianya, hal ini yang membuat keaslian suatu berita terkurangi bahkan berita itu tidak di naikkan atas dasar tidak sesuai dengan yang di inginkan perusahaan atau bisa menurunkan minat baca masyarakat pada media tersebut. Teori Agenda setting dalam media massa berlaku menjadi pusat penentuan berita yang mengarahkan khalayak pada isu-isu yang di anggap penting oleh media massa ketimbang pemberitaan yang lebih bermamfaat pada masyarakat itu sendiri, aspek yang di agendakan media berupaya pada konsentrasi propaganda dalam isu yang di angkat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.