Kosong yang Ganjil


Buatlah sekali-kali bacaan yang jelek dan ngawur; minimal mengurangi bebanku dari aku yang mencintaimu penuh seluruh. Biar aku hanya mencintai ragamu sebagai karya gila dari pencipta yang diam-diam kugilai tanpa harus menanggung hasrat akan puisi yang keluar dari jiwamu  pada setiap coret di setiap postingan atau bukumu yang ke sekian.

Kata-katamu hanya semakin menambah hasrat ingin melebur, hanyut, terseret dan surut pasang pada gelombang malam di saat bintang-bintang malu tapi enggan melewatkan kita yang bergulat; khayalku. Waras menurutmu? Tidak!
Sebab cukup! Cukup sudah membuatku gila! Aku sudah terlalu tua untuk larut dalam cinta sialan ini!

Sebab siapa kau?
yang tiba-tiba datang membicarakan ini itu di depanku, mengajakku ke sana atau kembali ke sini, hingga memelukku erat saat sedu sedan air mata bahagia atau saat luka menganga karna hidup. Dan tiba-tiba bersama secangkir bintang di langit kau pergi dengan satu peringatan yang tidak bisa ku ajak tanding.

"Aku perlu pergi. Perbincangan kita akhir-akhir ini tidak menghasilkan ide apa-apa. Aku sudah bosan denganmu!"
Selamat menuaikan ibadah mimpi. Mimpimu untuk membuat buku ke-5 atau hanyut dengan wanita yang kau impikan dan juga memimpikanmu. Kalian terlihat manis di seberang jalan saat kau genggam tangannya seusai percakapan perpisahan kita dan basa-basiku yang bukan diriku saat melepasmu tadi.

Kita cukup sampai disini.

Kita cukup sampai disini?
Hah, ngomong apa diriku. Malulah!

Kita tidak pernah sama memulai dari awal. Aku saja yang memiliki rasa itu. Tanpa topeng! Ku tunjukkan, ku perjuangkan, kuakui, kau ku doakan dan kau masih biasa saja. Tanpa topeng pula!
Kau membicarakan mimpi-mimpi dengan sorot gairah, membawaku ke buku-bukumu yang sudah usang dan membiarkanku menyaksikan tubuh setengah telanjangmu di pantai dan diseret kemana-mana oleh imajinasi yang kau bangun atas tokoh utama wanita dalam ceritamu.

Aku yang bodoh! Aku yang bodoh!

Malulah diriku. Belajarlah malu!

Yah, kau dari awal hanya butuh ditemani bukan untuk kulengkapi.

_______________


Aku, bukankah kita butuh jeda? Itu sudah sebulan berlalu. Kisah itu. Berdamailah barang sejenak.
Mari mempersingkat ini dengan obrolan kita berdua setelah dia pergi. Antara aku dan diriku. "Apakah kau sakit hati saat dia mengurai rambut wanita berlesung pipi itu?". "Aku kira tidak terlalu. Wanita itu memang manis. Dia layak mendapat yang istimewa dari pria perkasa yang dulu mengacak-acak rambutku,"

"Hemmm. Lalu saat mereka tertawa membaca bersama isi buku halaman 23 yang bercerita tentang gadis bodoh yang dia tinggal pergi untuk buktikan cintanya ke wanita itu, apakah kau murka?". "Aku tidak murka. Itu memang benar. Aku saja yang bodoh. Akh, bukankah ini sudah ku bilang berkali-kali? Aku saja yang bodoh."


"Lalu bila priamu itu jatuh sakit apakah kau akan mendoakannya?"
"Ganti kosakatamu untuk menyebutnya sebagai priaku!"
"Baik, baik. pria itu; bagaimana bila dia jatuh sakit?"
"Aku akan mendoakannya agar dia sembuh. Aku tidak akan memperdebatkan doa siapa yang paling ampuh. Antara namanya yang kuselipkan dalam doa-doaku setiap saat atau doa-doa wanita disampingnya setiap detik. Intinya dia harus sembuh!"

"Ini kedengaran sedikit menyakitkan, bukan? Bagaimana kita sudahi percakapan ini? Aku tak mau melihatmu menangis"
"Tidak, tidak. Tanyakan saja! Aku mau tuntaskan ini!"
"Pertanyaan terakhir. Bagaimana kau mendoakan dia bersama pasangannya?"
"Apa kau gila? Aku, aku masih belum mendoakan mereka berdua. Atau baiklah jika pertanyaanmu memintaku mengikhlaskan mereka. Aku berharap mereka akan berbahagia dan sampai di pelaminan. Doa singkat itu kan yang menjadi ketakutanmu? Sudah kudoakan. Puas?"

"Aku tak ingin buru-buru bilang amin untuk doamu. Mereka memiliki doa yang perlu mereka amini sendiri. Mungkin iya untuk pria itu. Tapi tidak bagi wanitanya."
"Maksudmu?"
"Aku melihatnya keluar dari kamar kos paman seminggu lalu. Kau ini pura-pura lupa atau takut berpikir itu tidak akan mengubah apapun?"
"Ayo pergi. Jalanan ini hampir lengang,"
"Kau seperti biasa selalu lari. Dasar pengecut!"

"Lalu maumu apa? Bukankah itu tidak akan mengubah apapun?

Jika mereka saling mencintai aku tidak apa-apa, jika pria itu bahkan tau telah dikhianati tapi tetap memeluknya, aku tak akan murka bahkan jika mereka menikah sekalipun, aku sudah siap!" Aku hampir memberi penekanan kepada setiap yang kukatakan. Yah, sebenarnya aku tidak ingin meyakinkan siapa pun. Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri!

Tiba-tiba aku merasa kosong. Kosong yang ganjil. Benarkah yang kukatakan sedari tadi?

Aku mulai gugup. Tanganku gemetar di dalam saku jaket bulu domba. Mataku memerah. Jantungku berdetak cepat. Ini bukan aku!
Aku sejujurnya masih berharap menjadi penggenapnya. Aku malu tapi aku masih mau.
"Tapi akhirnya bila dia terluka dan tidak tahan lagi dia boleh kembali saja kepadaku! Aku ingin genap."
"Menggenapi kosongku yang ganjil dengan mencari tahu; apa lagi yang perlu ku lakukan agar kau tahu aku mencintaimu?" Tutup diriku. Aku dan diriku sama-sama sepakat.

Untuk menunggunya kembali.


Sial!!!

Oleh : Wartawan Lpm Papyrus

Tini Pasrin

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.