OPINI: BERDISKUSI BERSAMA TIM EKSPEDISI INDONESIA BARU (FILM SILAT TANI)

 

saat berlangsungnya diskusi film dokumenter Silat Tani pada 13/08/2022
Dokumentasi: Sandy Imanuel

Film yang telah kita tonton dan yang juga telah kita diskusikan, yakni Silat Tani. Film pertama karya tim ekspidisi Indonesia Baru yang di sutradarai oleh Dandhy Laksono, film yang mengkemukakan tema pertanian menjadi topik bahasannya. Dalam film itu, dengan menggunakan metafor kuda-kuda pada ilmu bela diri di awal film dan beberapa schene-schene  selanjutnya-nya di dalam film itu, Dandhy ingin menunjukan bahwa seperti ilmu bela diri atau pancak silat, yang sebelum menguasai jurus lainnya, seseorang yang mempelajari ilmu bela diri harus sudah kuat memasang kuda-kudanya, jika kuda-kudanya belum beres atau kuat dan kokoh, maka seseorang yang mempelajari ilmu bela diri tidak bisa melangkah untuk mempelajari jurus-jurus selanjutnya, karena fondasinya yang terletak pada kuda-kuda itu belum dikuasainya.

Seperti kuda-kuda dalam pancak silat itu, menurut Dandhy dalam film Silat Tani ini, pertanian adalah kuda-kuda dari sebuah negara yang kuat dan kokoh. Jika pertanian lemah, maka kekuatan negara pun akan melemah, sebaliknya jika pertanian kuat, dalam artian bahwa hidup para petaninya sejahtra maka negara akan kuat. Pertanian adalah kuda-kuda atau dasar fondasinya, sebab para petanilah penyuplai kebutuhan pokok dari pada masyarakat akan pangan. Jika pertanian koleps, maka masyarakat pun akan koleps dan menyusul negara akan bubar, demikian kira-kira kalau mau sedikit di-ekstrimkan. Selain itu, dalam film ini juga diperlihatkan masalah-masalah yang menggangu aktivitas pertanian itu, misalnya seperti kegiatan distribusi hasil pertanian yang tidak sama sekali menguntungkan petani, serta aktivitas pendirian perusahaan geotermal yang tentu juga menggangu aktivitas kehidupan dan pertanian masyarakat yang disorot dalam film itu. 

Dalam film ini diperlihatkan bahwa kebanyakan masyarakat menolak adanya perusahaan geotermal di tanah mereka. Dalam film ini ditampilkan penolakan masyarakat dengan alasan bahwa, dengan mengelaloh tanah dengan cara bertani, masyarakat bisa menyambung hidup sampai kepada keturunan mereka, ketimbang tanah itu dijual dengan uang yang banyak tetapi tidak bertahan lama. Sementara menjawab masalah distribusi hasil pertanian yang kerap membuat para petani jadi buntung alih-alih untung, dalam film ini diperlihatkan bahwa para petani itu membentuk koperasi yang memotong aktivitas distribusi itu, sehingga petani sebagai produsen dan para pembeli sebagai konsumen bisa langsung dipertemukan tanpa melalui tengkulek sebagai pendistributornya. Dengan cara demikian, dikatakan dalam film itu, bahwa petani akan lebih diuntungkan, demikian juga konsumennya karena mendapatkan kebutuhan pangan dengan harga yang murah. Demikian kira-kira bangunan cerita dari film ini yang saya tangkap.

Di dalam diskusi film ini, saya tertarik dengan ungkapan kegalauan Bung Yano yang menyanyangkan minimnya keterlibatan anak muda di dalam memperjuangkan kepentingan rakyat kecil, semacam para petani yang disorot dalam film dokumenter ini. Bung Yano mengangap bahwa minimnya keterlibatan anak muda (mahasiswa) itu, karena telah tertular sifat-sifat elitis kampus, yang diam-diam membuat para mahasiswa menjadi bangga menyandang gelar sebagai orang-orang terdidik dan akhirnya abai pada masyarakat kecil. Saya berkesan, nampaknya Bung Yano memiliki angapan bawha mahasiswa saat ini terlihat sangat pragmatis, sehingga itu akahirnya menyebabkan mahasiswa-mahasiswa itu abai pada nasib kaum marjinal. Tetapi angapan Bung Yano segera di bantah oleh salah satu anggota tim ekspedisi Indonesi Baru, Mas Priambodo, dengan menunjukan bahwa ternyata terdapat katerlibatan anak muda yang juga masif dalam memperjuangkan nasib-nasib para petani yang nasibnya terkorupsi. Setuju dengan Bung Yano, Mba Lila mengatakan baha mahasiswa khusunya BEM Malang Raya memiliki kecendrungan memilah-milah kasus dalam mereaksi kebijakan pemerintah, jika kasusnya lokal BEM Malang Raya akan tampak diam saja, tetapi bila kasus itu adalah kasus nasional, maka BEM Malang Raya akan baru beraksi. Mendengar itu saya memiliki kesan bahwa BEM Malang Raya tampaknya suka sekali mencari panggung.

Dalam melihat minimnya keterlibatan mahasiswa itu, yang menurut Bung Yano seharusnya mesti menghidupi intelektual organik-nya Antonio Gramsci, dan karenanya harus bisa memiliki kepekaan terhadap kebutuhan rakyat kecil (petani), bahakan lebih jauh lagi dari pada itu, kebanyakan anak muda tidak lagi tertarik pada aktivitas pertanian, saya melihat bahwa bukan sifat elitis kampus yang menulari mahasiswa, tetapi ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi di Indonesia terlampau instrumental. Itulah menurut hemat saya yang menjadikan banyak mahasiswa kita menjadi abai terhadap nasib kaum kecil itu. Meminimnya tanah karena sudah habis dikuasai oleh industri pertanian dan pertambangan, adanya desakan dari pemerintah bahwa kampus harus bisa mencetak generasi yang bisa langsung diserap oleh dunia industri, membuat ilmu-ilmu yang di ajarkan di perguruan tinggi selalu menghamba pada meknisme kapitalisme, itu akhirnya mematikan daya kritis mahasiswa. Perguruan tinggi kita bukannya mencetak manusia yang mampu membaca realitas sosialnya denga nalar kritis dan membangun, ia malah mencetak mesin instrumental yang siap digunakan oleh industri. Dengan iklim pendidikan perguruan tinggi yang demikian ini, maka jangan heran kalau mahasiswanya menjadi apatis dan hanya mementingkan kepentingan pribadi.

Benar bahwa pertanian adalah kuda-kuda atau fondasi dari pada sebuah negara yang kuat, tetapi jika kita melihat-lihat dengan kasat mata, rasa-rasanya fondasi itu sudah enggan dilirik lagi oleh generasi kita yang sudah terdidik oleh ilmu pengetahun yang sangat pragmatis itu. Bertani di angap kuno, kotor serta dengan hasil yang sedikit, dan memaksa anak muda yang tidak suka tinggal di desa harus untuk tinggal di desa, jelas pertanian lambat laun akan ditinggalkan. Para sarjana pertanian akan lebih suka bekerja di industri pertanian dengan gaji yang lebih besar dari pada bertani dengan hasil yang sedikit dan hidup dalam kemiskinan, demikianlah buah dari ilmu yang terlampau instrumental dan pragmatis. Menurut hemat saya, apa pun yang diprakarsai oleh rakyat seperti koperasi yang memotong distribusi dan langsung mempertemukan produsen dan konsumen, tetap tidak akan berpengaruh besar bila pola pikir anak mudanya masih mengadopsi ilmu-ilmu yang terlampau pargmatis dan berorientasi pada kebutuhan pasar atau industri.

Jawaban Mas Priambodo yang mengatakan bahwa ternyata anak mudah juga cukup masif terlibat dalam membela kaum marjinal, atas angapan Bung Yano yang mengatakan bahwa adanya keminimitas-an keterlibatan anak muda (mahasiswa), bagi saya tidak kemudian mengkonfirmasi keterlibatan mahasiswa secara konprehensif dalam hal membela kaum kecil itu (petani). Masalahnya adalah negara tidak lagi melihat bahwa yang menjadi fondasi atau kuda-kudanya adalah pertanian, tetapi bagi negara yang menjadi kuda-kudanya kini adalah industri, baik itu pertanian, pertambangan, media massa dan lain-nya. Karena itu, aktivitas negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi terdikte oleh mekanisme pasar bebas, jika industri menghendaki profil kelulusan dengan spesifikasi tertentu, maka negara akan menekan perguruan tinggi untuk sedapat mungkin juga menghasilkan sarjana yang dimaui oleh pasar. Dengan begitu perguruan tinggi akhirnya telah dan akan menciptakan sekrup mesin untuk menjalankan industri yang sudah ada di pasar, bukan manusia yang punya pendirian dan daya pikir kritis untuk melihat sesamanya manusia sebagai manusia, bukan sebagai objek yang siap sedia untuk dieksploitasi bagi keuntungannya sendiri.

Tulisan ini merupakan bentuk pernyataan dan pendapat pribadi saya, yang tidak sempat saya utarakan dalam forum karena keterbatasan waktu. Akhirnya, terima kasi untuk tim ekspedisi Indonesia Baru yang telah menyajikan tontonan yang melahirkan refleksi bagi kami yang ikut dalam diskusi film ini. Selamat melanjutkan perjalanan. (Fenansio DeJesus)


 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.