Majelis PTUN Ambon, Lanjutkan Sidang LPM Lintas

Tim kuasa hukum Lintas dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta dan LBH Pers Ambon, memberikan keterangan pers seusai sidang saksi ahli di PTUN Ambon, Senin, 17/10/22


 Papyrus - Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, melanjutkan Sidang Kasus Gugatan Surat Keputusan (SK) Rektor No. 92 tentang Pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri Ambon. Sidang yang dipimpin oleh I Gede Eka Putra Suartana, menghadirkan tiga orang ahli dari pihak penggugat. 

 Ahli Pers Imam Wahyudi dalam kesaksiannya mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mengatur terkait dua hal yaitu, konten dan perusahaan pers. 

 "Untuk konteks pers mahasiswa, mengatur terkait konten yang dihasilkan pers mahasiswa sendiri, dengan mengikuti kaidah dan kode etik jurnalistik. Perusahaan pers adalah, perusahaan yang menjalankan kegiatan jurnalistik. Sementara, konten adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, memiliki dan menyampaikan informasi berdasarkan kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik," katanya pada Senin, 17/10.

Imam pun melanjutkan, majalah yang diterbitkan LPM Lintas, yaitu tentang kasus kekerasan seksual sebagai karya jurnalistik. Serta, setiap konten jurnalistik harus mendapat perlindungan Dewan Pers. 

 "Saat ditanya terkait identitas korban kekerasan seksual dalam pemberitaan media kampus, jurnalis diwajibkan untuk tidak membocorkan identitas korban. Karena, sudah diatur dalam kode etik. Melindungi identitas korban kekerasan seksual, merupakan aturan paling keras di dunia jurnalistik. Apalagi, korban sudah menyampaikan, dan tidak mengungkap jati dirinya," lanjutnya. 

 Imam menjelaskan, sejumlah pejabat di IAIN Ambon pada 16 Maret 2022, memanggil pemimpin redaksi Lintas dan mendesak, agar identitas korban perundungan seksual, diserahkan ke pihak kampus. Namun, Lintas menolak menyerahkan data identitas lengkap korban kekerasan seksual. Dengan alasan, memberikan data korban merupakan pelanggaran kode etik. Sehingga, jurnalis Lintas mendapatkan pembekuan oleh pejabat kampus. 

 "Apa pun risikonya, jurnalis tidak boleh membuka identitas korban. Kecuali, kasus itu dibawa ke pengadilan dan hakim memerintahkan untuk dibuka. Ketika jurnalis memutuskan tidak membuka data korban, maka ia sudah siap menanggung konsekuensi di pengadilan. Yang mana, jurnalis siap dipenjara demi mempertahankan kredibilitasnya. Serta, melindungi identitas korban kekerasan seksual di depan pengadilan," jelasnya.

Kuasa hukum LPM Lintas, Ahmad Fathanah Haris mengungkapkan, keputusan Rektor IAIN Ambon menonaktifkan LPM Lintas menjadi fakta bahwa, kampus tidak ramah terhadap kebebasan pers. 

 "Salah satunya, karena ada bentuk pembekuan dengan alasan-alasan tidak rasional. Padahal teman-teman Lintas, melakukan kerja-kerja jurnalistik yang mengungkap fakta bahwa ada kasus di tubuh IAIN Ambon," ungkapnya. 

 Adapun, Rektor menurunkan surat penutupan Lintas itu dengan alasan, LPM Lintas melanggar visi dan misi IAIN Ambon. Surat bredel diteken pada 17 Maret lalu. Sebelum keputusan membredel Lintas, dua orang Lintas dianiaya di sekretariat. 

 Kasus pemukulan ini, dilaporkan ke Kepolisian Sektor Sirimau, Kota Ambon. Selain itu, sembilan anggota pers mahasiswa yang tergabung dalam tim liputan khusus, dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Maluku. 

 Dalam keterangan ahli Hak Asasi Manusia (HAM), Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P. Wiratraman, menyatakan pelaporan ke kepolisian merupakan, bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berakademik. 

"Pelaporan tersebut adalah, bentuk pelanggaran yang dijamin dalam pasal 13 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2005, tentang Kovenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," tandasnya. (Beatriks Uta)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.