Sikapi Konflik Repsesif dan Kekerasan Seksual, PPMI Adakan Diskusi SOP Dalam Kongres Nasional XVI

Sedang Berlangsungnya Diskusi SOP PPMI Pada Kongres Nasional XVI

Papyrus - Dalam kegiatan Kongres Nasional XVI hari kedua, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mendiskusikan Standard Operasional Prosedur (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di PPMI yang bertempat Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu, 15/10.

Menindaklanjuti SOP penanganan kasus kekerasan seksual di PPMI dibentuk dari kesepakatan Kongres PPMI ke XV yang diselenggarakan di Madura, Jawa Timur pada tanggal 12-17 Februari 2020. PPMI  beserta Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang tergabung di dalamnya, melakukan diskusi untuk menyelesaikan kekerasan seksual serta menciptakan ruang aman. 

Dikutip dari dasar SOP penanganan kasus kekerasan seksual di PPMI berdasar pada peraturan internal PPMI, yaitu Kode Etik PPMI, AD/ART/GBHO/GBHK PPMI, dan Buku Pedoman Teknis Advokasi PPMI serta kajian tentang kekerasan seksual lainnya.

Kode etik PPMI pada dasarnya, Kode Etik menjadi dasar bagi pers mahasiswa (dari LPM yang tergabung di PPMI) untuk memberikan kemerdekaan berpendapat, berekspresi dan pers sebagai suatu hak asasi manusia melalui kerja-kerja jurnalistik. 

Dalam konteks kekerasan seksual, Kode Etik PPMI tidak bisa dipisah dengan kasus kekerasan seksual yang bersangkutan dengan pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang bersangkutan dengan kasus kekerasan seksual tidak serta-merta bisa memisah urusan “jurnalistik” dengan “kekerasan seksual”. 

Kode Etik PPMI menjadi dasar bagi pers mahasiswa dalam kerja jurnalistiknya, pers mahasiswa perlu memahami bahwa kasus kekerasan seksual yang bersangkutan dengannya bisa mempengaruhi proses kerja jurnalistiknya. Hal ini mempengaruhi keberpihakan, maupun kepercayaan publik pada hasil kerja jurnalistik dan media pers mahasiswa tersebut.

Dalam Kode Etik PPMI poin 1, disebutkan bahwa “Pers mahasiswa mengutamakan idealisme”. Penafsirannya adalah “Pers mahasiswa harus menjaga idealisme sebagai bentuk menjaga hati nuraninya dalam melakukan pencarian informasi dan pemberitaan untuk memperjuangkan kelas tertindas”. 

Maka dari itu, ketika pers mahasiswa bersangkutan dengan kasus kekerasan seksual, khususnya menjadi pelaku kekerasan seksual, berarti sudah menyimpang dari idealisme pers mahasiswa untuk memperjuangkan kelas tertindas. Ketika menjadi pelaku kekerasan seksual berarti pers mahasiswa tersebut sudah menjadi penindas dan berpihak kepada penindasan.

Selanjutnya begitu juga dengan Kode Etik PPMI poin 6, bahwa “Pers mahasiswa harus menghindari pemberitaan diskriminasi”. Penafsirannya, bahwa “Diskriminasi adalah pembedaan pemberlakuan (membedakan ras, suku, warna kulit, agama, bahasa, dan gender)”. Maka dari itu, ketika menjadi pelaku kekerasan seksual, kepercayaan publik kepada pemberitaan dari hasil kerja jurnalistiknya dan media pers.

Serta Mahasiswa tersebut (dalam konteks kesetaraan gender) bisa berkurang. Oleh karena itu, sikap dan tindakan pers mahasiswa mempengaruhi hasil kerja jurnalistik dan kepercayaan publik, sehingga urusan “jurnalistik” dengan “kekerasan seksual” tidak bisa dipisahkan.

Selain itu, dalam diskusi tersebut ada penambahan terhadap Advokasi litigasi kasus represif yang dialami pers mahasiswa berfokus pada dasar hukum yang berkaitan dengan kasus represif tersebut. 

Ketika represif tersebut berupa kekerasan seksual, maka dasar hukum yang menjadi fokusnya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291.

UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7). UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88.

Serta Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2006 No 64, Supplement to state gazzete of republic of Indonesia No. 4 4635).

Sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006  tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293).

Dikutip dari SOP definisi  Kekerasan Seksual dalam proses advokasi kasus kekerasan seksual di PPMI, perlu sebuah definisi tentang “kekerasan seksual” yang menjadi acuan untuk mengkaji dan menyelesaikan kasus kekerasan seksual tersebut. Dalam hal ini definisi yang menjadi acuan adalah 15 bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan, serta definisi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dari kajian Safenet .

Definisi yang pertama yaitu Perkosaan Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.

Sedangkan pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. (Tina/Rinda)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.