Surat Kepada Pacarku
Nun dahulu kala pada masa purbakala, berhembuslah angin utara.
Bunga yang belum lagi bernama, akhirnya gugur juga. Kenakalan angin ributkah yang telah menjatuhkanmu?
Pada mulanya jauh takhtamu, di atas tinggi nir, ku gapai agar memaluki pelayaran imajiku yang sendiri, dingin dan sahara. Mahkota pohon kehidupanlah kamu, yang tumbuh di atas tanah taman surga, jauh dari aku yang lelap dalam kama mati, alpa dalam keluasan yang maha rahim, ibuku pertiwi. Ada yang terusir, kamu pun terjatuh. Kenakalan angin ributkah yang telah menjatuhkanmu?
Kamu terjatuh menimpa hatiku yang sendiri, dingin, dan sahara, menularinya dengan gairah pada bunga-bunga dalam jalan mencari kamu, bunga dari bunga, yang mekar tak kenal musim. Akhirnya, tak lama kemudian aku terlahir dan menyusul kau pun terlahir, sebagai daging, sebagai darah.
***
Sebagaimana telah kita semua tahu, bahwa sesuatu yang buruk dan mengerikan telah terjadi. Aku telah membuka kembali dokumentasi para jurnalis tentang peristiwa itu ketika kalender dengan cepat menanggal hari demi-hari dan membawa hari naas itu kembali kepada perenungan dan perasaan mendalam kita. Dingin yang aneh telah merasuki aku, ketika kusaksikan lagi, ini tragedi. Oh Anjuku yang manis, kutuliskan surat ini kepadamu dalam keadaan sesak dadaku, dan pikiranku yang tak kunjung berhenti bertanya, untuk kesekian kalinya, semenjak putusan itu diputuskan. Benarkah putusan para hakim-hakim kita di sini, bahwa angin-angin nakal itulah yang bersalah? Benarkah angin nakal itu yang telah membunuh 135 orang pada 1 Oktober 2022 lalu?
Di antara ratusan mereka yang telah mati itu, demikian cerita penyintas sebagaimana dilaporkan oleh para jurnalis kita, seseorang ayah telah kehilangan dua putrinya bersama dengan mantan kekasihnya. Seseorang anak telah kehilangan ayah dan saudaranya. Seorang teman telah kehilangan temannya. Seorang pemuda telah kehilangan pacarnya yang lalu, juga kehilangan hidupnya pula: “Pacarku mati! Pacarku mati!” Teriak pemuda itu dalam nada yang mencekam, kenang seorang penyintas yang adalah kakak perempuan dari pacar si pemuda yang telah mati seperti pacarnya yang telah mati, dikubur paksa oleh asap gas air mata yang tebal seperti awan mendung yang habis kesabarannya, dan ingin segera menumpahkan amarah ke atas bumi. Sepasang kekasih itu mati bersama dengan yang lainnya, baik yang telah mati maupun yang akan mati, mereka mati dalam massa yang takut mati, yang lari menuju pintu yang sempit, dan lalu akhirnya mati.
Biarkan aku bertanya lagi kekasihku, Anjuku yang manis, benarkah putusan hakim-hakim yang mulia itu, bahwa angin-angin nakal itu yang bersalah. Apakah angin nakal itulah pembunuhnya?
Anjuku yang manis, yang akan selalu manis, sesungguhnya aku telah lama menaruh curiga, dengan logika mistika begini, besarlah kemungkinannya bahwa para hakim-hakim ini akan sepakat jika seandainya pemerintahan kerajaan Belanda berkilah, anginlah yang bersalah dari mendaratnya kapal-kapal VOC di pantai-pantai Nusantara, sehingga terjadilah perbudakan ratusan tahun itu.
Anginlah yang bersalah dari matinya orang-orang di sekitar tahun 1965-1966, kalau saja hakim-hakim ini diminta memutuskan perkara itu. Begitu pun seterusnya, anginlah yang bersalah, membawa negara ini menjadi negara penjajah sehabis revolusi bunga, militernya telah membunuhi orang-orang Timor Leste, semenjak 1975 sampai dua puluh tahun kemudian. Dan, anginlah yang membawa gelombang militerisme sampai kepada tanah cendrawasi. Angin pula yang bersalah, menerbangkan Munir ke Belanda dan akhirnya keracunan di dalam pesawat yang ia tumpangi.
Anginlah yang bersalah kalau demokrasi negara ini jatuh ke dalam monarki keluarga si tukang kayu itu. Aku menjadi teringat musikalisasi puisi Gunawan Muhamad oleh AriReda: “Di luar hujan membisikan talking purba bagi seorang pemimpin, di hari kemarin disalibkan dunia.” Biarkan aku melanjutkan penggalan syair ini sayangku: “Di luar hujan menularkan kebisuan pada kaum kecil, di hari ini seorang pemimpin telah menyalibkan dunia.”
Ahhh, seandainya betul begitu! Angin sialan! Malang nian nasib anak-anak Malang. Sudah kalah dalam laga derbi, lalu ketika mereka ingin membesarkan hati para pemain mereka, malah datanglah angin membunuh mati beberapa ratus dari mereka? Karena melawan mahkluk ciptaan Yang Mulia Maha Hakim yang tak kasat mata itu, kalah pula anak-anak Malang itu. Ibarat, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Memang malang anak-anak Malang. Kalaulah angin ciptaan Yang Mulia Maha Hakim itulah yang adalah pembunuhnya, tak sungkankah anak-anak Malang ini menuntut keadilan kepada Yang Mulia Maha Hakim yang terkenal sungguh bijaksana dan adil melebihi keadilan dan kebijaksanaan raja Sulaiman. Beranikah mereka menuntut Yang Mulia Maha Hakim?
Menyaksikan semua yang telah terjadi di sini tempo lalu itu, aku sedih dan gelisah kekasihku, sebab para hakim kita di sini telah kehilangan akal sehatnya, entah karena apa? ku duga, karena mabuk oleh harta dan takhta, sehingga akhirnya mati rasa dan mati nalar terhadap rasa-merasa kemanusiaan yang berdarah, yang berdaging.
Tak kusangsikan bahwa angin dapat menjadi gasing raksasa merusak seperti di Rancaekek. Tetapi, sungguh berbedalah Rancaekek dari tragedi Kanjuruhan. Pada 1 Oktober 2022 itu, bagaimana bisa angin yang mungkin telah membelai dengan lembut wajah bunga-bunga dan sayap kupu-kupu di sebuah taman entah di mana, telah menjadi sebab mati-naasnya 135 anak-anak Malang itu?
Bagaimana bisa angin yang sesaat sebelumnya mungkin sudah bekerja sama dengan para pemuda bermartabat, merasuki kekasih mereka dengan dingin yang lembut, sehingga mereka dapat menunjukan rasa sayang, itulah yang membunuh 135 anak-anak Malang itu?
Mungkin saja, saat ini, di padang savana di atas ketinggian 2.868 mdpl sana, seseorang kekasih tengah menunggu kekasihnya yang pernah berjanji datang bersamanya ke sana. Kekasih itu menunggu dengan tahu bahwa kekasinya tak akan pernah datang lagi, seberapa lama pun dia menunggu. Angin yang menarikan rerumputan di bawa sana, yang membawa terbang beberapa kembang putihnya kepadanya, angin itulah yang telah divonis bersalah atas pergi selamanya kekasihnya itu. Tetapi, pasti, akal sehatnya sangsi bertanya: “Benarkah angin ini yang telah membunuh kekasihku bersama dengan 134 orang lainnya?”
Aku telah bertanya, sebab mereka penuh dengan seribu sangsi, bertanya, benarkah anginlah yang sudah membunuh yang telah mati itu? Benarkah putusan hakim-hakim kita di sini bahwa anginlah yang bersalah? Jika anginlah yang bersalah, dalam tragedi ini, bagaimana cara menghakimi angin nakal itu agar keadilan dapat tercapai? Dalam perkara pengadilan tragedi ini, yang demikian itu, apakah hakim-hakim kita ingin menghakimi Yang Mulia Maha Hakim yang dari padanyalah raja Sulaiman telah menimba kebijaksanaan guna mencapai keadilan di bumi seperti di dalam surga?
Aku tahu manisku, aku tahu, kamu tentu sepakat dengan aku, sebagaimana aku sepakat dengan anak-anak Malang ini dari semenjak mulanya tragedi ini, jika raja Sulaiman yang sungguh bijaksana itu saja tidak berani mengadili Sang Maha Hakim itu, bagaimana hakim-hakim kita di sini hendak menghakimi sang Maha Hakim itu? Bagaimana mungkin mereka berani melakukannya? Tetapi seperti yang telah kita saksikan, mereka telah melakukannya, ya mereka telah melakukannya. Betapa beraninya mereka?
Bukankah dengan begitu hakim-hakim kita ini telah melakukan penistaan terhadap Yang Maha Hakim itu, yang kepadanya para hakim-hakim ini telah bersumpah untuk memutuskan segala perkara dengan seadil-adilnya?
Adilkah putusan hakim-hakim kita itu? Adilkah putusan itu di hadapan Tuhan yang adalah sang Maha Hakim itu? Adilkah putusan hakim-hakim kita itu di hadapan kemanusiaan yang berdarah, yang berdaging ini?
Jelas bagiku, sebagaimana jelas bagi anak-anak Malang, hakim-hakim kita ini, hati nuraninya telah bengkok oleh harta dan takhta, akal sehatnya bukan saja hanya sakit, tetapi telah mati sebab rakusnya mereka kepada kekuasaan. Bagaimana bisa orang-orang beragama ini, yang suka memantrakan rasa tangung jawab di mulut mereka tetapi takut melaksanakannya, hanya karena rasa tangung jawab itu mengancam kedudukan dan kekayaan mereka. Tahulah kita, untuk kesekian kalinya, hakim-hakim kita ini ternyata lebih mencintai harta dan takhta dari pada mencintai manusia yang berdarah yang berdaging seperti diri mereka sendiri.
Sayangku, putusan hakim yang menghina akal sehat warga negara republik di provinsi ini, menghina akal sehat semua warga negara di republik ini. Oleh sebab akal sehat itu, putusan hakim kita di sini tidak boleh diterima. Bila ada warga negara yang menerima putusan itu, artinya menerima penghinaan itu.
Anak-anak Malang menolak omong kosong dan penghinaan memalukan itu, aku pun juga. Sungguh mereka akan mengabadikan kesangsian mereka terhadap vonis angin para hakim itu. Pertanyaan-pertanyaan sangsi itu akan terus ditanyakan, lagi dan lagi sampai keadilan tercapai, di bumi ini, bukan di dunia sebrang sana, sebab di sini terjadi perkara itu, bukan di sebrang sana, bukan! Kesangsian ini adalah pertanyaan abadi. Pertanyaan yang akan selalu ditanyakan lagi, lagi dan lagi, sampai angin datang menularkan dingin yang aneh memusnahkan kita semua.
***
Bergemahlah dalam ingatanku seruan Pengkotbah, “sia-sialah kehidupan manusia sebab hanyalah usaha menjaring angin.” Mencari apakah gerangan dalam antusiasme yang pekat itu, menjaring angin? Harta dan takhta? Peradaban yang dangkal!
Masih lagi kita dengar, di republik ini, para pemuka republiknya memvonis angin dari bodohnya keputusan dan tindakan publik mereka yang membawa petaka kepada kita semua. Di Rempang Riau, para penegak hukum kita sebagaimana telah mereka lakukan di Kanjuruhan yang telah menjadi tragedi yang tragis, menggunakan hukum dan kekuatan perkasa negara merampas hak-hak warga negara, ketika kekerasan oleh penegak hukum yang berkongsi dengan pemodal itu beranak korban dari pihak warga negara yang tidak berdosa, angin pulalah yang tervonis bersalah. Sedang di antara berlangsungnya itu, di jantung republik ini dalam rangkaian hajat demokrasi, di muka publik, lagi kita saksikan dan dengar, perkara polusi udara yang tak becus diusut, angin pula divonis bersalah, membawa polusi ke Jakarta.
Sungguh aku tak menuntut agar pemuka publik kita harus menjadi filsuf rajanya Platon dalam rangka mengurus republik ini, tetapi paling tidak, mereka, sebelum memutuskan untuk menjadi pemuka publik dan penegak ketertiban publik maupun pemutus perkara publik, harus sudah banyak membaca dan memahami buku-buku yang penting dan perlu untuk mengurus republik dan demokrasi, jangan melulu membaca dogma-dogma mistik yang memang laris di sini, sehingga mereka gagal membedakan mana kehendak alam dan mana kebodohan manusia, terutama kebodohan mereka sendiri.
***
“Saudaraku! Saudariku! Pergilah dengan tenang! Semoga cinta dan kebaikan yang kau tegakkan di hati kami semua, yang sudah lagi kami monumenkan di jantung nurani kami, bergema dalam keabadian, melayanimu di hadapan wajah Tuhan mulia.
Anginkah yang membawa kemari dingin yang aneh ini, yang mengeringkan mata air, mengusir pergi udara segar tengah hari, membawa air mata ke mata kami? Tak mengapalah kami menangis di hari hidup kami sampai air mata kami kemarau dan hati kami menjadi gersang, ia akan menjadi saksi untuk bercerita kepada generasi mendatang, hingga keadilan berdiri di bumi ini, hanya di bumi ini.
Ketahuilah, ketika mereka membunuh kalian semua kemudian menyalahkan angin, sesungguhnyalah mereka telah membunuh kami juga. Saudaraku! Saudariku! Dalam tragedi ini, kalian mati dalam kematian, kami mati dalam kehidupan. Demi kematian itu, biarlah ikrar kami ikat, selama keadilan masih timpang tertindih dan sulit berdiri, kematian kami dalam hidup ini bagi kematian kalian dalam kematian, akan menjadi teror bagi kehidupan mentereng mereka, sampai keadilan berdiri di bumi ini, hanya di bumi ini, dan sampai hari itu, tak akan ada satu hembusan angin pun yang akan divonis karena kedunguan manusia.”
Begitulah seorang telah berdiri di muka umum yang haru, berkata dalam sungkawa, melepas kepergian yang telah meninggal.
Air mata seorang perempuan tua dalam dekap kekasihnya yang pun telah tua, menganak sungai di pipihnya yang keriput, jatuh ke tanah kubur anaknya. Kekasihnya itu hanya menatap perempuan tua itu dengan kebiruan yang mendalam, sebentar-sebentar ia ganti menatap kubur baru itu, yang di dalamnya jasat anaknya disemayamkan.
Masih lagi orang yang berkata-kata itu berkata lagi, gemanya berkata lagi, dan gema dari gema itu berkata lagi, lagi dan lagi, oleh gema yang lain, dan yang lain lagi: “Beristirahatlah kekal! Beristirahatlah kekal! Seperti kekalnya kesangsian kami terhadap putusan dungu para hakim-hakim itu, sampai keadilan berdiri di bumi ini, hanya di bumi ini.”
***
Rasakah kau bunga jatuhku, bunga jatuh yang tak layu, menimpa dengan lembut hatiku, memberinya kehangatan dari semula kedinginannya, memberinya air dari lama kemaraunya, membuatnya berani untuk menumbuhkan kehidupan di atasnya, mekarlah bunga jatuhku, tetaplah tegar dalam mekarmu itu walaupun kehidupan di atas bumi ini terasa bagai pendakian Sisifus dengan batunya. Rasakah kau kekasihku, angin yang datang dari tempat aku berada ke tempat kau berada, di utara sana itu. Aku titipkan lewat angin lembut ini sebentuk dingin yang aneh, yang tengah kurasakan ketika aku kembali membuka dokumentasi para jurnalis kita tentang tragedi Kanjuruhan yang telah terjadi dua tahun yang lalu, pada tanggal yang telah tak dapat tanggal sebab terinskripsi pada dinding-dinding ingatan, 1 Oktober 2022. Rasakanlah kedinginan itu dahulu kekasihku, sebelum kau menerima surat ini bersama dengan Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran, yang telah kujanjikan kepadamu sebagai rasa kasihku kepadamu.
Ketahuilah kekasihku, Selma kekasih Gibran itu telah mati oleh kemapanan yang korup, Ini mengingatkan aku kepada anak-anak Malang itu, mereka juga telah mati dalam kemapanan yang korup.
Apabila kita megunjungi kuburan mereka, sebagaimana saran Gibran, masuklah dengan hening dan berjalanlah pelan sehingga derap langkah kita tidak akan menggangu tidur yang telah meningal, dan berhentilah di setiap nisan mereka, dan beri salam pada tanah yang menyelimuti mayat mereka dan sebutkan nama orang tua, saudara, sahabat, dan kekasi yang telah mereka tinggalkan, dengan desahan panjang, dan biarlah hati kita berkata, “Di sini, seluruh harapan kekasih itu, yang tinggal sebagai pesakitan cinta di lautan sana, dikuburkan. Pada titik ini ia kehilangan kebahagiannya, air matanya telah kering dan ia telah melupakan senyumnya.”
Maafkanlah aku kekasihku karena telah membagikan kegetiran perasaan yang tengah menarikku bagai pusaran angin ini kepada mu lewat surat ini, tetapi aku tahu bahwa kau tak mengapa dengan itu, sebab aku tahu kau mencintaiku dan berharap aku dapat bercerita tentang apa pun yang sedang kugumuli dan memberatkan aku, dan kegetiran inilah yang tengah begitu kuat menguasai aku. Bayangkan saja, kalau aku sampai merasa begitu berat dengan perasaan ini, bagaimana perasaan mereka yang telah ditinggalkan? Sungguh aku tak kuat atau pun mampu mengakses perasaan itu, tetapi, lewat kata-kata Gibran ini rasanya aku dapat ikut-sungkawa dengan hati mereka: “Pada titik ini mereka kehilangan kebahagiaan mereka, air mata mereka telah kering dan mereka telah melupakan senyum mereka.”
Ahhh cukup! cukup! sebaiknya aku berhenti di sini.
Semoga surat ini kau terima dalam keadaan sehat dan penuh vitalitas, agar ketika membacanya, dapat kau kendalikan emosimu yang tidak jarang sulit sendiri kau kendalikan ketika menghadapi hal-hal sentimentil.
Wasalam, kekasihmu Vee, Malang 15 September 2024.
Tidak ada komentar