Masyarakat Simbol Otak Idealis Perut Kapitalis

Foto; ilustrasi
“Kritik memang sakit, tetapi lebih sakit bila kritik tidak didengarkan”


Pada abad  15 kita hanya mengenal dua macam masyarakat  yaitu borjois dan proletar atau marhaen kata bung Karno. Namun dalam beriringnya waktu dalam ketidak puasan modernisme berganti ke era postmodern lahirlah masyarakat baru pengkonsumsi simbol.  Saya ingatkan kembali kalian akan esai yang saya tulis beberapa hari yang lalu dengan judul ‘Cadar Hitam Dan Gaya Berfikir Bangsa’.


Masyarakat pada dewasa ini hidup dengan ribuan topeng yang digunakan bergantian setiap hari untuk menghilangkan identitas dirinya. Pada masa sekarang kita hampir tidak bisa mengenali seorang penjilat di negeri ini, hal ini terjadi kerena manusia menjadi pengkonsumsi simbol.


Hadirnya media ditengah-tengah kita telah menciptakan budaya dan masyarakat baru yang perlu kita kaji bersama untuk kebaikan atau kesejahteran kita. Kita memang tidak mungkin mengelakkan kehadirannya kecuali siap mengasingkan diri dari keramaian dan hidup seorang diri di tengah hutan atau dalam goa seperti yang dipaparkan dalam kitab kelasik karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali yang bernama ‘Minhajul Abidin’.


Masyarakat yang hidup di era ini harus pandai-pandai berenang agar tidak menjadi taik dan sampah, karena hanya keduanya lah yang ikut arus begitu saja.


"Bagi sahabat-sahabat mahasiswa dan mahasiswi kalian harus melapangkan dada, pola pikir masyarakat kita saat ini sudah setengah gila".


Kalian baru akan dikatakan sukses dalam lingkungan (tempat tinggal asal) kalian apabila membawa harta benda, sekalipun itu adalah hasil dari penggelapan, nyamun,  mencuri, korup dan sebagainya.


Kalian itu baru akan dikatakan orang sukses jika kalian pulang membawa mobil  sekalipun itu mobil sewaan atau setumpuk uang sekalipun hasil curian. Tetapi bagi kalian yang terdidik apa artinya dan fungsi dari semua itu?.


Masyarakat kita telah di cekoki kenyataan palsu lewat media (hyperreality) yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan kenyataan, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, dusta jadi nyawa kebenaran.


Kepalsuan keaslian, kebenaran dan isu menjadi satu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dunia ini.
Semua itu terjadi karena kapitalis tidak ingin rugi, tetapi jangan mengira orang-orang kapitalis itu hanya kaum-kaum pemudal saja, sebagian dari orang-orang biasa di lingkungan kita otaknya sudah kapitalistis juga, jangan-jangan kitapun sudah termasuk bagian dari mereka.


Keadaan hiperrealitas ini membuat masyarakat menjadi berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Sebagian besar dari mereka mengkonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan tetapi keinginan nafsunya terpengaruhi model-model dari simulasi  yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi hedones.


"Masyarakat simbol otaknya memang idealis tetapi perutnya itu kapitalis".


Oleh kerena itu segala macam cara akan bisa dilakukan oleh mereka karena ‘perut sudah menjadi karung tungku’, semoga itu bukan kita!.  Orang yang hidupnya terlalu professional dan hanya mencari uang, kita sebut dia diperbudak oleh perut.


Para koruptor kita gelari hamba perut karena mengorbankan kepentingan Negara dan rakyat demi perutnya sendiri. Padahal perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan yang harganya cukup seribu rupiah saja, sebab kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas, ia sekedar penumpang dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh (Ainun Nadjib 2016: 24-25).


Timbulnya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini dari kehidupan masyarakat yang seperti ini dan hal itu sudah menjadi penyakit akut diseluruh lapisan masyarakat baik siswa dan mahasiswa itu sendiri.


Namun yang disebut masyarakat pengkonsumsi simbol tidaklah cukup mengkonsumsi sesederhana itu, bukan kebutuhan lagi yang dikonsumsi tetapi kepuasan nafsu. Mereka yang minum kopi atau makan di coffee akan merasa lebih bangga ketimbang minum kopi di lesehan sekalipun rasa kopinya sama dan 10 kali lipat lebih mahal harganya. Orang yang belanja di Matahari, Sardo, Moll dan sejenisnya itu sekalipun yang dibelinya sama dengan orang-orang yang belanja di pasar tradisional akan merasa lebih kaya ketimbang yang belanja dipasar tradisional.


Masyarakat simbol merasa rendah diri jika tidak membeli barang bermerek ini dan kosmetik bermerek itu. Sebenarnya mereka bukan untuk membeli barang melainkan membeli dan memakan simbol dari barang itu.


Pola konsumirisme seperti ini adalah gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah ukuran kebahagiyaan alangkah sempit pemikrannya.


Sifat-sifat masyarakat seperti ini yang menjadi kebanggaan para kaum kapatalis, karena mereka telah berhasil merekrut kader-kader baru. Keidealisan mereka hanya untuk menutupi tabiat sebenarnya yang kapitalis. Dalam kontruksi sosial yang seperti ini orang-orang baik digiring untuk ikut serta membudayakan. Korupsi yang bukan merupakan budaya jadinya dibudayakan, akhirnya esensi dari budaya itu sediri lambat laun menjadi kabur dan abu-abu.


Maka dari itu “Derrida mengingatkan kebenar itu tidak harus dibatasi dalam kebenaran tunggal, umum dan universal, karena dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat plural, partikular dan relatif (Santoso 2015: 252).


Akan tetapi kebenaran yang absolute harus tetap disuarakan agar dunia ini atau negara tidak menjadi lumbung orang-orang fasik yang menistakan kebenaran tunggal biar manusia yang diciptakan sebagai tangan-tangan Tuhan itu tidak semuanya merusak tatanan system yang sudah tertata dengan baik kita harus bisa menjaga dan melestarikannya.

Oleh : Zammil*
*penulis sedang ‘Uzlah di gang 8


Literasi:
Ainin Nadjib, Amha. 2016. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai. Yokyakarta: PT Bentang Pustaka.
Santoso, Listoyono. 2015, Epistemologi Kiri. Yokyakarta: Ar-Rus Media.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.